Sabtu, 10 November 2012

( No.6 ) 10 TULISAN BAHASA INDONESIA 1


PLURALISME AGAMA SEBAGAI FENOMENA SOSIAL DI INDONESIA
(Analisis Sosio-Fenomenologis)


Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.  Akan tetapi tidak berarti bahwa umat Islam harus mendominasi seluruh kehidupan keberagamaan dan kebermasyarakatan di Indonesia. Itu terbukti  dengan adanya agama-agama lain seperti Kristen, Budha, Hindu dan  lainnya  juga tumbuh berkembang di negara kita. Bahkan kerukunan umat beragama  sudah tercermin dalam sejarah panjang kehidupan masyarakat Indonesia.  Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai  suku, ras dan agama tetapi meskipun demikian kita dapat hidup bersama dan  saling menghormati.
Ajaran keberagamaan yang senantiasa membawa kepada kedamaian,  diharapkan menjadi motor penggerak utama dalam menciptakan kehidupan  yang harmonis tersebut. Akan tetapi, dinamika kebermasyarakatan mengarah  pada fenomena yang berbeda. Jika kita menilik beberapa kasus kekerasan atas  nama agama di Indonesia, seakan agama mempunyai wajah yang menakutkan. Apa yang sebenarnya terjadi?. Mungkinkah ada kesalahan dalam menafsirkan  ajaran (doktrin) agama yang mereka ikuti? Apa yang seharusnya kita lakukan  untuk mengatasi permasalahan ini?
Salah  satu  kunci dari permasalahan tersebut  adalah dengan dialog,  karena dengan dialog kita dapat melihat dan memahami perbedaan dan  selanjutnya mengetahui bagaimana harus bersikap dengan yang lain. Akan  tetapi tidak segampang yang kita harapkan, karena diakui atau tidak, setiap  agama pasti mempunyai misionarisme yang berbeda. Adanya klaim kebenaran  yang absolut dalam sebuah agama seakan menjadi tembok Berlin dalam usaha  ini. Pemahaman pluralisme disisi lain muncul dari dalam agama itu sendiri. Pemahaman ini mencoba untuk melihat sisi lain dari doktrin keberagamaan  dan selanjutnya menawarkan kehidupan yang cinta damai. Dengan penerimaan pluralisme diharapkan usaha dialog akan lebih berjalan dan akan  meningkatkan kerukunan antar umat beragama. 
Pluralisme di  Indonesia  tidak dapat dipahami hanya dengan  mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari  berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan  fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar  sebagai  “kebaikan negatif”  hanya ditilik dari kegunaannya untuk  menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati  kebinekaaan dalam  ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah juga  suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui  mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab  suci justru disebutkan bahwa  Allah  SWT  menciptakan mekanisme  pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara  keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang  melimpah kepada umat manusia. “Seandainya Allah SWT tidak mengimbangi  segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi  hancur; namun  Allah SWT  mempunyai kemurahan yang melimpah kepada  seluruh alam.”(QS. Al-Baqarah : 251)
Sejak "pluralisme" dan "dialog antarumat beragama" dieksternalisasi     oleh elit agama Kristen Protestan di dunia Barat, sejak itu wacana  tersebut  menjadi isu  penting hingga kini, dan sejak itu pula  pluralisme dan dialog  antarumat beragama menjadi fenomena  social  yang menyejarah sekaligus  fenomenal. Pluralisme dan dialog antaragama (interreligious dialogue) tak  hanya menjadi realitas  bagi kaum Kristiani, tetapi juga umat yang lain,  termasuk Islam.

Sumber : http://skripsitesis4u.blogspot.com/2012/06/pluralisme-agama-sebagai-fenomena.html

( No.5 ) 10 TULISAN BAHASA INDONESIA 1


Sistem Sosial Budaya Indonesia di Era Globalisasi

Bagaimana cara melestarikan sistem sosial budaya Indonesia di era globalisasi?

Di era globalisasi seperti sekarang ini, sudut-sudut dunia seakan-akan sangat dekat di kehidupan kita sehari-hari. Informasi dari sudut dunia manapun sangat mudah untuk kita ketahui. Akibatnya tanpa disadari difusi atau persebaran ide-ide, baik berupa sistem sosial ataupun budaya dari luar masuk ataupun masyarakat luar menyebar dan mungkin ikut terinternalisasi dalam kehidupan suatu masyarakat regional tertentu, seperti masyarakat suatu negara. Persebaran ide-ide tersebut, makin intens karena didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan para penyedia informasi yang berlomba-lomba menginovasi diri sebagai penyedia jasa pemberi informasi. Pengaruh yang kompleks tersebut, sudah pasti mempengaruhi kehidupan masyarakat / bangsa suatu negara, tak terkecuali masyarakat dan bangsa Indonesia.
Hampir semua negara atau bangsa yang telah merdeka dan di akui derajat dan keberadaannya (de facto dan de jure ) oleh negara lain memiliki undang-undang atau konstitusi sebagai wadah dari sistem sosial budayanya. Indonesia yang merupakan negara merdeka dan diakui dunia juga memiliki konstitusi yang mengatur sistem sosial budaya Indonesia, tidak hanya itu di Indonesia di kenal adanya empat (4) pilar kebangsaan sebagai pengusung dan wadah sistem sosial budaya Indonesia. Empat pilar yang dimaksud yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Akhir-akhir ini, sungguh sangat disayangkan sebagaimana yang kita rasakan, baca, dengar, dan lihat, fenomena kebangsaan Indonesia begitu sangat memprihatinkan. Gejala-gejala negatif dan destruktif menjadi gambaran sehari-hari dari fenomena kebangsaan kita sekarang. Fenomena atau gejala destruktif ini seakan-akan “telah membudaya”. Fenomena tersebut hampir (nyaris) melingkupi seluruh tatanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta digawangi oleh hampir (nyaris) seluruh lapisan masyarakat Indonesia, terutama mereka para petinggi yang seharusnya dapat menjadi figur atau contoh teladan bagi masyarakat Indonesia.
Sebenarnya pertanyaan yang perlu kita ajukan yaitu, benarkah globalisasi menggerus sistem sosial budaya Indonesia? Ataukah kita sendiri yang secara sukarela “melepaskan begitu saja” sistem sosial budaya Indonesia? Atau apakah kita sebagai generasi muda Indonesia tidak mampu menginterpretasikan gagasan para pendiri bangsa (empat pilar kebangsaan) Indonesia tersebut dalam era globalisasi? Atau memang generasi sekarang acuh tak acuh sehingga untuk hal kecil saja dalam upaya pelestarian sistem sosial budaya Indonesia harus menunggu dan diarahkan oleh generasi tua “terdahulu? Ataukah ini merupakan fenomena sosial sebagai dampak dari ketidaksuksesan pendidikan dan dampak dari frustrasi ekonomi, sosial dan politik masyarakat Indonesia?
Tentu dalam pemecahan masalah tersebut haruslah kita lihat dari berbagai sudut pandang secara komprehensif. Masalah tersebut mengacu pada karakter bangsa. Pilar-pilar bangsa menjadi fungsi kebudayaan yang mengikat kebangsaan secara keseluruhan. Runtuhnya pilar-pilar disebabkan penetrasi budaya terutama arus globalisasi yang begitu hebat dan lebih pragmatis sehingga bisa menimbulkan konflik.
Sebenarnya pemecahan masalah tersebut tidak hanya berkenaan dengan mempatenkan budaya Indonesia, tetapi haruslah kita cari bagaimana sistem sosial budaya tersebut mampu atau dapat menjadi sesuatu yang sakral sehingga sebagaimana yang dikatakan oleh Emile Durkheim sistem sosial budaya tersebut mampu menimbulkan solidaritas, integrasi dan rasa memiliki terhadap sistem sosial budaya tersebut sehingga dirasakan adanya rasa ketergantungan dan rasa memiliki anggota-anggota dari masyarakat terhadap ke sakralkan tersebut. Ini bergayut pada keharusan kita melaukukan “ritual” dari sistem sosial budaya tersebut sebagai suatu yang sakral, menciptakan ketergantungan dan solidaritas sosial.
Sebenarnya teori tersebut merupakan teori dari Emile Durkheim mengenai keberlanjutan suatu agama. Saya sangat terinspirasi dengan pembelajaran sosiologi agama, termasuk teori-teori para sosiolog dalam sosiologi agama.
Sistem sosial budaya itu dapat diibaratkan suatu agama, jika tidak dilakukan dapat menimbulkan rasa bersalah bagi pemeluknya dan mempengaruhi si pemeluk dalam dinamika sosial kemasyarakatan. Kesakralan dan ritual tersebut baru berarti apabila diakui oleh anggota masyarakat lain, begitu pula sistem sosial budaya Indonesia.
Perlu juga kita sadari dan lakukan, bahwa dalam pelestarian sistem sosial budaya Indonesia itu perlulah dilakukan proses “pilih-pilih-buang”. Dalam artian membuang atau menghapuskan nilai atau norma dalam sistem sosial budaya Indonesia yang menghambat pembangunan, pemberdayaan dan mempengaruhi keterbelakangan mentalitas bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang dilakukan secara berani oleh Bangsa Jepang demi kemajuan bangsa dan negaranya (Silahkan baca buku Koentjaraningrat judulnya “Mentalitas Bangsa Indonesia”). Ini dapat memperkokoh dan memperkuat keyakinan kebangsaan dan bernegara karena secara nyata inilah yang disebut sebagai kesadaran sosial dalam upaya mengukuhkan dan memperkuat eksistensi masyarakat Indonesia. Selain itu, terus menerus untuk melaksanakan tradisi yang mendukung kemajuan bangsa seperti hidup sederhana, hemat, gotong-royong dan tolong menolong dalam kebenaran.
Kita tidak memiliki strategi kebudayaan sehingga permasalahan pokok pun mudah saja mengobati. Ke depannya harus ada strategi kebudayaan. Kita belum mempunyai kebudayaan komprehensif yang mengakibatkan nilai-nilai luhur tidak ada. Maka sangat penting dan sungguh merupakan hal yag urgen (mendesak) untuk menerapkan strategi efektif internalisasi budaya dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Dan akhirnya sikap dan perilaku optimis dan optimisme untuk menjadi lebih baik untuk bangsa dan negara Indonesia dapat menjadi pemacu individu dan kelompok dari keberagaman bangsa Indonesia untuk mewujudkan Bangsa dan Negara Indonesia yang maju, adli dan beradap di hadapan dunia dan terutama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.

Sumber :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/06/19/sistem-sosial-budaya-indonesia-di-era-globalisasi/

( No.4 ) 10 TULISAN BAHASA INDONESIA 1



"TANTANGAN DAN PERANAN PEMUDA INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN"


"Berbicara soal tantangan dan "peran" "pemuda" dalam mayarakat sebenarnya mengundang diri memasuki wilayah permasalahan yang kompleks, rumit dan tidak mudah dipecahkan."
Kata "pemuda" umumnya dipakai sebagai konsep untuk memberi generalisasi kepada golongan masyarakat yang berada dalam kelompok umur tertentu, yang membedakannya dari kelompok-kelompok umur lain seperti anak-anak atau golongan orang-tua.
Masalah dan tantangan  "pemuda" yang sebenarnya tidak terpisah dari masalah masyarakat pada umumnya, sebab pada hakekatnya "pemuda" adalah suatu bagian masyarakat Indonesia. Karena itu masalah yang dihadapi oleh "pemuda" ditentukan oleh faktor-faktor dan keadaan serta kondisi masyarakat pada umumnya.
Pada kenyataannya, ciri umum dari struktur penduduk usia muda adalah pada kandungan permasalahan yang berkisar pada masalah kesempatan pendidikan, kesempatan kerja, kesehatan maupun pilihan-pilihan sulit karena perkembangan aspirasi non-phisik yang makin meningkat.
Permasalahan di atas makin menjadi kompleks pada saat pertumbuhan ekonomi menghadapi problem baru, baik oleh karena makin rendahnya tingkat pertumbuhan karena berkurangnya kemampuan dana pembangunan, tetapi juga kerena proses pemerataan kesejahteraan yang tidak secepat sebagaimana yang diharapkan.
Seperti yang kita sadari, "pemuda" Indonesia bukan merupakan suatu kelompok yang homogen, melainkan berasal dari mayarakat Indonesia yang pluralistik sifatnya. Pluralistik tersebut pada dasarnya terletak pada faktor-faktor sebagai berikut:
1.       Kedaerahan.
2.       Cara hidup di kota dan di pedesaan yang berlainan.
3.       Perbedaan menurut kelas-kelas sosial.
4.       Agama yang berbeda-beda.
5.       Tingkat pendidikan dan keahlian yang berbeda-beda.
Disini, maka dapat diinventarisasikan masalah-masalah yang dihadapi generasi muda ("pemuda") adalah:
1.       Kekurang-pastian "pemuda" terhadap hari depannya.
2.       Tidak seimbangnya/jumlah "pemuda"/usia sekolah dengan fasilitas pendidikan dan pembinaan yang tersedia.
3.       Besarnya jumlah "pemuda" yang putus sekolah.
4.       Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi "pemuda" dan jumlah pengangguran yang cukup besar.
5.       Keberandalan dan kenakalan remaja/"pemuda" cukup mengkhawatirkan.
6.       Penyalah-gunaan obat-obat narkotika dari kalangan "pemuda".
Menyongsong era globalisasi di Indonesia, tantangan utama yang harus dihadapi adalah peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendidikan, arus informasi dan komunikasi dan juga perubahan struktur ekonomi. Tantangan lain yang bakal dominan yang harus dihadapi "pemuda" adalah revolusi teknologi di bidang genetic engineering, bio-technology, eksplorasi angkasa luar, pengendalian tenaga nuklir, komputer dan robot-robotnya dan lain-lain.
Sementara itu timbul pertanyaan yang sangat mendasar, jika teknologi canggih ditempih bagaimana nasib teknologi padat karya dan tradisional? Padahal lebih dari 60 % penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan dan kemiskinan serta keterbelakangan masih menjadi masalah di mana-mana.
Tantangan-tantangan hebat dan masalah-masalah yang ada mengundang kita untuk memikirkan rumusan-rumusan atau terobosan-terobosan baru untuk mengatasinya, antara lain dengan:
1.       Meningkatkan daya kreativitas "pemuda" sesuai dengan tuntutan proses perkembangan masyarakatnya, dengan terobosan-terobosan baru dalam cara berpikir dan mengevaluasi masalah-masalah baru yang dihadapi bangsanya.
2.       Meningkatkan dan melibatkan "pemuda" dalam pemecahan permasalahan kemanusiaan dan moralitas, dimana "pemuda" akan mengembangkan hubungan atau unteraksi sosial yang lebih toleran dan manusiawi.
3.       Mewujudkan pemikiran-pemikiran pada anggota masyarakat yang masih hidup dalam suasana kemiskinan.
4.       Mengembangkan rasa solidaritas, dimana kelompok "pemuda" hadir di suatu suasana kehidupan bersama yang solider dan intim di dalam masyarakatnya.
5.       Pembangunan diri manusia (terutamagenerasi mudanya/"pemuda") disamping dibekali dengan kecerdasan, moralita, keterampilan dan sebagainya, juga ditanamkan rasa percaya pada diri sendiri. "Pemuda" yang percaya pada diri sendiri, tidak akan takut terhadap godaan/pengaruh dari manapun datangnya, dan mereka mampu menyaring apa yang ada di sekitarnya, baik yang datang dari masyarakatnya sendiri maupun dari dunia luar dan meramu ke dalam suatu kreasi atau ciptaan baru yang orisinil.
"Pemuda" haruslah dilihat sebagai bagian dari kehidupan dalam suatu masyarakat yang mempunyai "peranan" dan kewajiban sendiri. Pada masa sekarang ini, "pemuda" diharapkan dapat lebih aktif mengambil  "peranan" dalam pembangunan baik pembangunan ekonomi, sosial maupun dalam usaha-usaha perdamaian.
Dalam bidang ekonomi misalnya, "pemuda" harus lebih ber"peran" aktif dalam sistem distribusi pada perekonomian nasional, dimana "pemuda" dari segala lapisan masyarakat, dari yang tinggal di desa maupun di kota-kota besar, baik yang berpendidikan tinggi maupun yang putus sekolah atau pengangguran dapat terlibat dan berperan semua pada setiap tingkat sistem penyaluran baik dari agen tunggal - sub agen - grosir maupun sampai dengan pada pengecer. Diharapkan dengan dinamika dan inisiatif dari tenaga-tenaga ekonomi muda Indonesia dampaknya terdapat kemakmuran yang merata dan perangkat ekonomi berada di dalam tangan-tangan terampil "pemuda" Indonesia sendiri. Kemampuan berswasembada dan mandiri harus dimiliki dan diwujudkan oleh generasi muda/"pemuda".
"Peranan" lain adalah dalam aspek sosial yang mendukung peran aspek ekonomi, misalnya berupa pengembangan sistem informasi dan komunikasi maupun produksinya. Misalnya dengan melibatkan ORARI, dapat memberikan bantuan informasi dan komunikasi mengenai situasi pasar, sarana produksi dan seterusnya.
"Peranan" berikutnya, adalah "peran" aktif "pemuda" dalam usaha-usaha perdamaian dunia dapat dimulai dari kerja sama bahu membahu para kelompok "pemuda" dari berbagai negara di dalam rangka menempa diri menjadi warga negara yang bertanggung-jawab. Dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara "pemuda" yang bersifat Internasional dapat saling memotivasi untuk berjuang bagi terwujudnya keadilan sosial dan perdamaian abadi dunia.
Pemerintah Indonesia memang telah menyatakan, bahwa tahun 1986-1996 adalah sebagai "Dasawarsa Ke"pemuda"an. Pernyataan ini menandakan keprihatinan yang tinggi terhadap masalah generasi muda/"pemuda" di Indonesia. Sampai pada akhir tahun Dasawarsa Ke"pemuda"an ini telah dibuktikan dengan langkah-langkah nyata, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Yang perlu mendapat perhatian dari generasi muda/"pemuda" sekarang ini adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Dari sisi ini kita memandang pentingnya suatu perencanaan pembangunan ke depan yang meletakkan masalah generasi muda/"pemuda" lebih baik lagi. Dalam posisi semacam itu, setiap pihak akan makin terundang untuk ikut memperhatikan sisi generasi muda/"pemuda" dalam setiap langkah yang akan dilakukan. Dan dengan cara itu pula, maka sebenarnya semua pihak sedang dilibatkan pada proses penyiapan "generasi - masa depan - bangsa" yang lebih baik, yang tidak dibebani oleh kompleks traumatik sebagai akibat ketidak-mampuan menghadapi realitas hidup yang semakin berat. 

Sumber : http://laely-widjajati.blogspot.com/2011/04/tantangan-dan-peranan-pemuda-indobesia.html

(NO.3) 10 TULISAN BAHASA INDONESIA 1



Kemacetan di Jakarta Akankah Abadi?

Jakarta sudah identik dengan kemacetan. Siapa pun yang menjadi gubernur, nampaknya problematika kemacetan akan terus jadi pekerjaan rumah yang tak kunjung terselesaikan. Biang keladinya mudah dicari, yaitu jumlah kendaraan yang terus meningkat tak diimbangi dengan penambahan ruas jalan raya.
Bayangkan, jumlah kendaraan meningkat 8 persen per tahun, sedangkan penambahan ruas jalan hanya 0,01 persen per tahun. Setiap hari terdaftar 1.284 kendaraan baru yang terdiri dari 216 mobil dan 1.068 sepeda motor. Jadi, tak heran bila jalanan penuh sesak dengan jutaan pengendara motor dan mobil setiap hari.
Buruknya sistem transportasi massal juga menyebabkan sebagian orang beralih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang angkutan umum. Lihat saja, terdapat 7,25 juta atau 98,8 persen pengguna kendaraan pribadi, dan 89 ribu atau 1,2 persen pengguna angkutan umum termasuk kereta rel listrik dan busway.
Pilihan yang masuk akal, siapa yang mau jika harus antre berjam-jam menunggu bus TransJakarta. Atau berdesak-desakan naik KRL dengan risiko kecopetan, pelecehan seksual, dan ketidaknyamanan lain seperti panas suhu di dalam kereta. Belum lagi serbuan pekerja komuter sebanyak 1,5 juta orang alias pekerja yang datang setiap harinya dari sekitar Jakarta.
Jika tak segera dikendalikan, diprediksi tahun 2014 Jakarta akan macet total. Pihak Pemprov DKI Jakarta, khususnya Dinas Perhubungan DKI Jakarta, bukannya tak punya solusi, namun semuanya belum terbukti bisa menghilangkan kemacetan.(ADO)