Perumahan di Pundak Generasi Muda
Rumah merupakan
salah satu kebutuhan pokok manusia yang bersinggungan dengan arsitektur.
Sehingga ilmu arsitektur turut bertanggung jawab terhadap masyarakat luas dalam
menyediakan hunian yang sehat dan nyaman. Namun, jika kita melihat realita
perumahan Indonesia maka data yang ada mampu memberikan beberapa kesimpulan.
Berdasarkan data
tersebut, Indonesia kekurangan rumah sebesar 5.8 juta unit, dengan pertumbuhan
kebutuhan akan rumah baru mencapai 800.000/tahun. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan
penduduk. Sementara bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang menempati
kawasan kumuh seluas 54.000 hektar di seluruh Indonesia, terdapat 13 juta unit
rumah tidak layak huni. Diperkirakan hingga tahun 2020 rata–rata kebutuhan
rumah pertahun mencapai 1,2 juta unit.
Terlihat
tingginya angka permintaan, dan itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Kenapa
hal ini bisa terjadi? Selain dikarenakan
karena tingkat pertumbuhan, bisa juga disebabkan oleh dua hal: pertama,
rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau;
Kedua, Menurunnya kualitas lingkungan permukiman. Sesungguhnya pemerintah telah
mencanangkan Rencana Strategis Pembangunan Perumahan periode 2004-2009, akan
tetapi mungkin
target yang dicapai masih jauh dari harapan yang diinginkan oleh masyarakat.
Sehingga tingkat kepuasan masyarakat terhadap pengadaan pemukiman masih rendah.
Jakarta sebagai
ibukota Negara terkadang menjadi panutan bagi kota – kota lain dalam
memperbaiki diri. Sehingga Jakarta sepatutnya menjadi contoh yang baik bagi
kota lain di Indonesia. Sebagai contoh, konsep jalur bus di Jakarta diadopsi
oleh Yogyakarta, Manado dan banyak kota lainnya dalam upaya memperbaiki
sistem transportasi umum mereka.
Akan tetapi pada
realitanya, tetap saja ada kekurangan yang dimiliki oleh Jakarta. Keberpihakan
pada kalangan atas jelas tampak pada tumbuhnya apartemen – apartemen yang
diperuntukan bagi kalangan tersebut. Pembangunan hunian bagi kalangan
atas per tahun mencapai 6000 unit, ini dianggap sudah lebih dari cukup.
Sedangkan pembangunan hunian untuk kalangan menengah per tahun mencapai 12.000
unit yang pada realita pemenuhan kebutuhan unit hunian untuk golongan
masyarakat ini bisa dibilang 0 %. Itu belum termasuk kebutuhan hunian bagi
masyarakat bawah yang mencapai 181.000 unit yang 21.000 unitnya merupakan
kawasan kumuh berat. Suatu ketimpangan terjadi apabila kontrol pemerintah
kurang ditambah anggaran
minim.
Ketimpangan ini
juga dapat dilihat dari laju pertumbuhan penduduk di Jakarta. Pertumbuhan
penduduk di Jakarta pada rentang 1990 – 2000 hanya 0,16 % pertahun,
pertumbuhan penduduk Jakarta Selatan -0,67%(minus), Jakarta Timur 1,33%,
Jakarta Pusat -2,01% (minus), Jakarta Barat 0,49%, dan Jakarta Utara 0,52%.
Akan tetapi pertumbuhan penduduk di kota satelit Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi mencapai 4% pertahun, gejala pertumbuhan yang negatif ini bisa kita
saksikan adanya
perubahan fungsi perumahan yang terus berganti menjadi kawasan komersial. Ada
keberpihakan Jakarta kepada kepentingan ekonomi dibandingkan pada pemenuhan
kepada masyarakat berupa perumahan. Ini menyebabkan penduduk Jakarta
berekspansi keluar jakarta, akan tetapi tetap berkomuter karena mereka bekerja
di Jakarta..
Berbanding
terbalik dengan pemenuhan kebutuhan perumahan di Jakarta, jusru Jakarta semakin
dipenuhi oleh pusat perbelanjaaanya. Setidaknya ada 130 pusat perbelanjaan atau
mall tersebar di seluruh penjutu..
Keberadaan mall di Jakarta riskan karena jarak yang relatif dekat antar mall dan kemungkinan akan
ada yang bangkrut karena persaingan. Namun diperkirakan beberapa tahun ke depan
2000 mall regional yang ada di seluruh dunia akan tutup atau berubah fungsi.
Memang kini seakan-akan ekonomi Jakarta nampak kokoh dan bergairah dengan
keberadaan mall sebagai penguasa lahan, tapi bukannya tak mungkin beberapa
tahun lagi mall ada
mall yang tutup dan berubah fungsi. Jika hal itu terjadi, maka mall dapat
dimanfaatkan sebagai perumahan bagi masyarakat di Jakarta dengan
merevitalisasinya.
Jika memang
kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah demikian mendesak,
ada banyak yang bisa kita pelajari dari masa lalu dan luar negeri tentang
kepedulian terhadap pemenuhan perumahan bagi mereka. Beberapa contoh: sand
bag house karya MMA architecs di CapeTown, Afrika Selatan. Rumah ini
menggunakan karung pasir sebagai dinding bangunannya dengan budget sekitar $ 8600.
Lalu ada Space Block Hanoi Model, sebuah proyek rumah percobaan
yang dikerjakan oleh Kazuhiro Kojima + Kojima Lab., Tokyo University of Science
dan Magaribuchi Lab dari University of Tokyo: sebuah proyek revitalisasi
perumahan kumuh. Dari dalam negeri, ada Pemukiman Kali Cho-de di
Yogyakarta oleh Romo Mangunwijaya.
Lalu apa yang
bisa dilakukan kita sebagai generasi muda? Kita adalah penggerak perubahan di masa
yang datang, sudah tentu memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah
ini sampai tuntas. Kita saat ini berada dalam proses perubahan dan memiliki
kewajiban untuk memecahkan masalah dengan solusi tepat guna di masa depan.
Sekarang mungkin kita hanya bisa mengikuti dan sedikit bereksistensi pada
proses perubahan saat ini. Tapi 10-20 tahun lagi dengan modal ilmu, pengalaman,
pelajaran dari masa lalu dan proses regenerasi yang terjadi, kita harus siap
untuk mengambil keputusan terbaik demi perkembangan arsitektur, umumnya, dan masalah pemukiman di Indonesia, khususnya.
Memanh perubahan bisa
terjadi kalau kita mengalami bencana, dengan bencana kita belajar untuk saling
menjaga dan memikirkan satu sama lain. Tapi saya juga percaya, jika ada political will yang baik,
maka kita bisa berubah: memikirkan orang lain, terutama kalangan bawah yang
selalu menjadi “keset”. Walaupun kemungkinan itu kecil tapi tetap ada.
Paling tidak, saya percaya dan optimis? Bagaimana dengan Anda? Mungkin anda bisa mulai menyalurkan
optimisme anda dengan mengikuti Sayembara Tanpa Hadiah.
Sumber : http://rujak.org/2009/09/perumahan-di-pundak-generasi-muda/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar