Media dan Marketing Politik
“Marketing politik merupakan metode dan konsep aplikasi
marketing dalam konteks politik” (Firmanzah)
“Kontribusi marketing dalam dunia politik terletak pada
strategi untuk dapat memahami dan menganalisis apa yang diinginkan dan
dibutuhkan oleh para pemilih” (M. Scammell)
Sebagai
sebuah istilah, pengertian ‘marketing politik’ tentu amat berkesan sebagai
istilah ekonomi ketimbang istilah sosial atau politik.Dalam perkembangan kajian
‘komunikasi politik’ tentu bisa dibilang baru.Marketing politik mulai
diperbincangkan menjadi fenomena menarik manakala era politik modern menyuguhkan
strategi-strategi berpolitik yang dikemas lebih modern.Nalar kapitalisme modern
mengangkat dimensi politik menjadi dimensi yang tidak jauh berbeda dengan dunia
kepentingan ekonomi.Politik dilihat sebagai produk.Bagaimana politik dijalankan
tidak jauh berbeda dengan mekanisme sebuah relasi ekonomi bekerja. Bagaimana
sebuah produk politik bisa berkesan dan mendapat dukungan dari banyak orang
tentu membutuhkan proses pengemasan, penawaran dan promosi yang baik.
Keberhasilan politik di era modern tidak lagi dibangun melalui prinsip-prinsip
lama seperti loyalitas ideologi ataupun aliran politik, melainkan melalui
politik perancangan yang lebih modern melalui infrastruktur media
modern.Kampanye-kampanye keberhasilan politik tidak lagi juga hanya terletak
pada karisma tokoh, kepemimpinan politik, atau militansi visi.Keberhasilan
strategi politik di era modern banyak ditunjang dengan kepiawaian politik
pengemasan dan pencitraan dan sekaligus pemanfaatan sarana-sarana modern.
Bagaimana para aktor politik harus
berperilaku, bagaimana visi misi harus dibangun, bagaimana jaringan politik
harus dicipta dan bagaimana partisipan warga politik ikut dilibatkan dalam
dinamika politik tidak semata bersifat ‘spontan’ dan ‘instingtif’. Strategi
harus dirancang sedemikian rupa sehingga maksimalisasi keuntungan politik bisa
diperoleh. Marketing politik telah menampilkan bentuk dan proses politik yang
lebih terkonsep, terancang dan teraplikasikan pada metode-metode yang lebih
rigid. Dengan ‘marketing politik’, wajah politik tidak lagi selalu harus
tergambarkan secara menakutkan tetapi mendorong politik yang lebih terkelola secara menarik. Beberapa
rancangan dan kerja-kerja pelaksanaan, tidak lagi hanya dikerjakan oleh
mesin-mesin politik lama seperti partai, ormas dan kelompok massa pendukung,
tetapi mulai melibatkan kerja-kerja agen kelembagaan yang menyediakan jasa
dalam proses pemenangan politik. Contoh kerja-kerja agen kelembagaan ini mudah
terlihat jelas saat terjadinya kontestasi politik di pemilu.Banyak jasa-jasa
agen telah disewa untuk melakukan perkerjaan politik.
Marketing
Politik : Makhluk Apakah?
Sebagai sebuah aktivitas formal dan
konsep definisi, marketing politik memang masih merupakan istilah yang relatif
baru.Bukan berarti bahwa penggunaan dan penerapan tentang strategi tersebut
belum digunakan. Dalam perkembangan sejarah politik, dimensi-dimensi marketing
tersebut sejatinya juga telah digunakan meskipun sebagai sebuah rumusan
konseptual yang baku belum mendapat banyak perhatian. Sebagai salah satu konsep
baru ‘marketing politik’ menawarkan sejumlah peluang untuk digali dan dielaborasi
dalam konteks Indonesia. Tentu sebelum memasuki lebih jauh tentang ‘apa itu
marketing politik’ lebih tepatnya kita akan diperkenalkan lebih jauh tentang
dua dimensi penting yakni ‘politik’ dan ‘marketing’.
Domain penting politik yang
dimengerti secara umum yakni mengartikan politik sebagai sebuah aktivitas
sosial yang menyangkut terjadinya perebutan dan distribusi kekuasaan.Apa yang
menjadi dimensi penting dalam dunia politik? Setidaknya ada tiga dimensi
penting dalam politik yang dipahami secara umum. Pertama, adalah bahwa dunia
politik memiliki subjek masyarakat yang terlibat baik langsung maupun tidak
langsung; Kedua, dunia politik memiliki institusi legal yang mengatur dan menyusun
interaksi sosial di dalamnya; Ketiga, dunia politik mempunyai aturan legal dan
juga aturan, norma-norma dan kaidah-kaidah moral tertentu yang menjadi rujukan
dan norma pengatur berjalannya interaksi politik. Aturan-aturan etika ini dalam
kondisi dan konteks perkembangan politik tertentu sering berkembang dan tidak
seragam.Perkembangan aturan main dan etika politik amat ditentukan juga dengan
dinamika dan interelasi masing-masing variabel yang menentukan berjalannya
politik. Dalam periode dan konteks jaman tertentu, norma, etika, dan sistem
nilai yang berkait dengan kehidupan politik bisa berubah-rubah.
Apa yang menjadi kecenderungan
politik hari ini? Gejala apa yang disebut sebagai ‘pragmatisme politik’ kian
bisa dirasakan. Sebagai sebuah kecenderungan, tentu ada faktor-faktor yang
mempengaruhinya.Satu hal yang amat berpengaruh pada lahirnya dimensi
pragmatisme ini adalah nalar ‘modernitas politik’ yang diakibatkan oleh
kemajuan perkembangan globalisasi yang merubah banyak dimensi nilai-nilai lama
pada masyarakat.Apa yang dahulu dimengerti bahwa ‘politik adalah sesuatu yang
elite dan luhur’ sudah bergeser. Lingkungan yang lebih mendorong nalar
pragmatis akan lebih cenderung mengartikan politik sebagai ‘cara problem
solving yang sifatnya lebih praktis’. Bertemunya politik dengan berbagai
dimensi yang lain termasuk dimensi kepentingan besar ekonomi menyebabkan
politik kemudian bergeser menjadi lebih banyak berbicara pada “problem untung
rugi” yang sifatnya lebih praktis. Dorongan dimensi kekuasaan ekonomi
kapitalisme mendorong politik tidak ubahnya dijadikan ‘instrumen’ dalam
pemerolehan keuntungan ekonomi.Maka fenomena tren-tren politik dengan berbagai
bentuknya hari-hari ini terkemas sesuai dengan gejala perkembangan ekonomi
pasar yang semakin liberal.Bisa dikatakan bahwa ‘saat ekonomi terarahkan pada
nalar liberal maka wajah politikpun akan lebih berkecenderungan untuk berwajah
liberal’.
Berkuasanya mekanisme pasar dalam
ruang-ruang politik sejatinya telah banyak yang mengingatkannya. Noreena Hertz
dalam bukunya, Silent Takeover and the Death of Democracy, bahkan begitu
lantang menunjukan bahwa ‘globalisasi ekonomi’ telah banyak mendorong para
pemimpin politik untuk lebih melayani para pelaku bisnis global yang telah
memilihnya ketimbang warga negara yang memilihnya. Era berkuasanya globalisasi
kapitalisme dalam ruang-ruang politik sejatinya telah menggambarkan sebuah
‘kematian atas demokrasi’. Aturan-aturan main demokrasi, kebijakan-kebijakan
politik dan berbagai produk perundangan sebagai bagian dari cara pengelolaan
politik telah begitu rupa diarahkan bagi kepentingan ‘pasar’. Maka yang
terjadi, isu-isu politik dan probelm-problem politik yang mengemuka tak ubahnya
seperti sebuah “transaksi pasar” di mana kepentingan akumulasi kapital menjadi jantung
penggeraknya.Pada titik inilah mungkin ‘marketing politik’ mengembang dan
bertumbuh menjadi sebuah definisi konsep dan sekaligus fenomena baru yang
menangkap peluang-peluang tersebut. Apa yang ada dalam kepentingan pembacaan
‘marketing politik’, akan banyak menyinggung pergeseran orientasi politik yang
lebih berwarna ‘ekonomis’ ketimbang dimensi-dimensi etis politis yang lain.
Pada pandangan ‘marketing politik’,
dunia politik bisa dibagi dalam dua kedudukan yakni ‘produsen’ dan
‘konsumen’.Sebagai produsen adalah mereka-mereka dan lembaga-lembaga yang
berkepentingan atas tujuan politik.Produsen dalam dunia politik bisa berupa
‘partai politik’ atau mereka secara individu yang merupakan penghasil produk
politik.Masyarakat di sini dijadikan sebagai ‘konsumen politik’. Masyarakat
merupakan pihak-pihak yang akan menjadi sasaran dari berbagai produk politik
yang dicipta oleh para produsen politik. Dalam
masyarakat modern yang sudah begitu terasionalisasi maka tentu saja
masyarakat dianggap sebagai konsumen aktif dan kritis yang akan bisa menentukan
secara rasional, produk politik mana yang memang baik untuk dikosumsi dan
dibeli. Maka tugas ‘marketing politik’ sebenarnya berhadapan dengan tuntutan
dan kebutuhan konsumen politik yang semakin bergerak maju dan modern.Tidak
seperti pada era politik tradisional yang lebih menekankan sentimen-sentimen
politik primodialnya, maka marketing politik lebih menggambarkan masyarakat
yang lebih rasional dan terbuka dalam banyak tuntutan kebutuhan yang kompleks
dan beragam.
Sebuah pendekatan baru untuk menjawab
kebertemuan dan interaksi antara produsen dan konsumen dalam dunia kehidupan
politik inilah yang menjadikan ‘marketing politik’ menjadi kebutuhan yang
dipakai oleh baik para pebisnis maupun para pegiat kehidupan politik sekaligus.
Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang dipandang beragam dan
demokratis.Masyarakat konsumen politik tidak lagi bisa dikenai sebuah penerapan
cara-cara mobilisasi politik yang sifatnya eksploitatif. Kesinambungan relasi
antara apa yang dikehendaki produsen dan apa yang dikehendaki konsumen menjadi
amat berharga. Dalam logika jual beli, seorang konsumen tentu tidak bisa
dipaksa untuk membeli, tetapi yang bisa dilakukan adalah membangun ruang-ruang
pengaruh dan hegemoni. Apalagi dalam dunia ekonomi pasar modern, tak lagi hanya
soal cara membangun transaksi tetapi menjaga kebertahanan relasi antara
produsen dan konsumen yang justru penting.
Yang sedikit berbeda dengan logika
ekonomi an sich, dalam ruang keterbukaan politik modern, masyarakat dan
konsumen politik dianggap tak lagi sebagai objek dari sasaran pasar tetapi juga
subjek. Sebagai subjek sikapnya lebih merdeka dan independen dalam memilih dan
menentukan mana yang pantas dipakai dan mana yang tidak. Masyarakat juga
dipahami sebagai mitra dan bukan pihak lain yang hanya menjadi sasaran politik
yang pasif. Sebagai mitra ia juga akan menentukan feedback bagi perkembangan
politik. Antara ‘produsen’ dan ‘konsumen’ politik bisa saling membangun
keterbukaan politik dan dialog secara terus menerus.
Dari beberapa penjelasan awal di atas
sebenarnya bisa kita temukan pengertian dasar tentang ‘marketing politik’ yakni
secara sederhana sebagai “penggunaan metode marketing dalam bidang politik’
atau ‘metode dan konsep aplikasi marketing dalam konteks politik’. Pada bukunya
‘Marketing Politik’, Firmanzah menjelaskan bahwa dalam ‘marketing politik’ yang
ditekankan adalah penggunaan ‘pendekatan’ dan ‘metode marketing’ untuk membantu
politikus dan partai politik agar lebih efisien dan efektif dalam membangun
hubungan dua arah dengan konstituen dan masyarakat.Namun diakui bahwa tentu ada
perbedaan mendasar antara marketing dalam dunia bisnis murni dengan marketing
dalam dunia politik. Politik akan banyak bersinggungan dengan ‘nilai’. Artinya
isu politik tidak hanya dipahami sebagai produk tetapi juga berkait dengan
relasi berbagai ‘simbol’, ‘nilai’ dan berbagai ‘makna’ yang membangun kehidupan
masyarakat.
Perbedaan yang cukup mendasar yang
ada dalam rasionalitas ‘ilmu marketing’ dan ‘ilmu politik’ terutama prinsip
yang ada dalam dua dimensi tersebut. Dalam nalar marketing, orientasi
‘keuntungan’ dan ‘kompetisi’ menjadi prinsip mendasar yang amat jauh berbeda
dengan ‘nalar politik’ yang lebih berorientasi pada pengelolaan tatanan dan
ruang hidup masyarakat melalui dinamika kekuasaan. Tentu sekilas ada
kecenderungan orientasi yang sama, tetapi hakikat dasar ikhwal awal memang
berorientasi pada dua kepentingan yang berbeda. Apa yang menjadi pijakan awal
dari terbangunnya konsep politik dan tindakan politik adalah ‘terciptanya
pengelolaan hidup bersama’. Meskipun kita harus juga sadar bahwa, dimensi
utopis itu akan bersentuhan dengan kenyataan realitas politik yang tidak bisa
terlupakan yakni ‘dimensi kekuasaan’. Pada hal yang terakhir inilah politik
kemudian sering terarah dan terbaca sebagai hanya persoalan perebutan
kekuasaan.Mulainya citra buruk atas ‘pengertian politik’ ada dalam keterkaitan
dengan dimensi perebutan dan pengelolaan kekuasaan tersebut.
Pergeseran
Dunia Marketing ke Dunia Politik
Memahami hal dasar tentang marketing
adalah gambaran tentang sebuah era perkembangan dunia ekonomi dimana terjadi
perubahan-perubahan sistem ekonomi terutama terjadinya peningkatan kompetisi
dan sekaligus perubahan dinamika pasar dalam kehidupan ekonomi.Marketing pada
prinsipnya menyangkut hubungan relasi dan aktivitas antara dua pihak dalam
ruang kepentingan ekonomi.Bisa jadi dimensi produsen dan konsumen ada dalam
relasi pertukaran ini. Dalam logika
pertukaran ini, dua pihak yang berkepentingan, masing-masing akan memberi
peneguhan dan jaminan bahwa kepentingannya sendiri juga akan mendapatkan
pemenuhan. Maka masing-masing pula akan membangun mekanisme, cara, aturan dan
bahkan negosiasi untuk masing-masing saling menemukan pemahaman dan deal
kesepakatan yang sama. Marketing adalah hubungan dan pertukaran.Relasi dan
pertukaran inilah yang sebenarnya menjadi inti dasar dari pemahaman tentang
dunia ‘marketing’.
Ketika sistem politik ekonomi
memungkinkan semakin berkembangnya iklim persaingan, maka nalar ‘marketing’ ini
menjadi semakin relevan digunakan. Dalam sistem kompetisi, yang terjadi adalah
setiap pihak terutama ‘produsen’ akan berhadapan bukan hanya dengan lawan
pesaing yang makin banyak, tetapi juga pasar konsumen yang kompleks. Mereka
akan menghadapi konsumen yang telah memiliki preferensi dan juga rujukan produk
yang beragam sehingga membuka pilihan dan tuntutan yang makin bervariasi dan
luas. Tentu saja strategi marketing akan semakin ditantang. Strategi yang tidak
bisa menangkap tantangan tersebut tentu saja akan kalah dan tergusur dalam
dunia politik ekonomi. Dalam era kompetisi yang makin menantang ini, tentu saja
cara-cara marketing yang hanya mengedepankan prinsip ‘transaksional’ semata
akan ketinggalan zaman. Apa yang menjadi kebutuhan para produsen tentu saja bagaimana
bisa mempertahankan posisi bergaining dan relasi dengan konsumen dengan taktik
strategi yang sedemikian rupa dilakukan. Apa yang perlu dibangun dan
dikembangkan adalah marketing yang lebih berdimensi relasional. Dalam pemaparan
tentang ini, Firmanzah secar detail menjelaskan :
“Marketing relasional bertujuan untuk lebih mempertahankan
konsumen yang telah ada sambil mencari konsumen baru.Hal ini dilakukan dengan
menciptakan kepuasan konsumen untuk membentuk loyalitas terhadap produk dan
jasa yang dihasilkan. Dalam marketing relasional, produsen perlu memikirkan
cara dan metode untuk mempertahankan konsumen. Selain itu, produsen harus
benar-benar memahami karakteristik konsumennya.Konsumen harus dilihat sebagai
bagian penting dalam sistem produksi dan tidak dianggap sebagai semata-mata
pihak luar yang membeli produk dan jasa mereka.Agar hubungan jangka panjang
bisa terwujud, harus terdapat mekanisme yang saling menguntungakan antara kedua
belah pihak”.
Pengembangan sistem marketing dalam
dunia kompetisi akan memperkenalkan dengan apa yang disebut sebagai ‘branding’.
Pemahaman ‘brand’ bisa kita mengerti sebagai nama, terminologi, simbol, atau
logo spesifik atau juga kombinasi dari beberapa elemen tersebut yang bisa
digunakan sebagai identitas sebuah produk dan jasa. Tentu saja setiap usaha
marketing selalu akan mengarah pada penciptaan ‘brand equity’ atau penciptaan
keunggulan brand. Sebenarnya jika kita lihat dalam nalar logic yang dibangun
oleh strategi ‘branding; ini adalah keyakinan dan nilai pandangan yang sudah
meyakini bahwa sistem pengelolaan produk ternyata tidak hanya terletak pada
‘esensi produk’ itu sendiri, tetapi bagaimana makna dan nilai yang dibangun
dari produk tersebut. Pada yang terakhir tentu saja penghargaan atas
kepentingan konsumen menjadi yang terutama. Sebaik apapun produk jika tidak
mampu menjawab nilai, makna dan loyalitas keyakinan bagi konsumen maka, ia akan
gagal untuk bertahan dalam kompetisi pasar. Sebaliknya seburuk apapun produk
tetapi mampu memenuhi apa yang menjadi nilai, makna dan loyalitas keyakinan
bagi konsumen, tentu saja akan bertahan dalam kompetisi pasar. Pada dunia
politik ini kemudian berkembang dalam fenomena ‘politik pencitraan’.Sebuah era
tren politik yang lebih mengedepankan kemasan daripada isi.
Nalar filosofis tentang era
pergeseran dan perkembangan dunia ekonomi saat ini juga ternyata dalam banyak
hal berlaku dalam dunia kehidupan politik.Dalam era neoliberal ini, maka
peluang lahirnya kompetisi politik dan kontestasi politik yang lebih terbuka
dan liberal benar-benar telah mendorong berbagai perubahan dalam strategi
politik.Kompetisi yang makin terbuka juga telah memaksa para pelaku dan aktor
politik baik individu maupun kelembagaan untuk membangun strategi pemenangan
politik dengan lebih maju. Cara yang banyak ditempuh saat ini adalah
memahaminya sebagai hal yang sama terjadi dalam dunia ekonomi. Salah satu
gambaran yang bisa membuktikan terjadinya perubahan tersebut adalah dengan
lahirnya berbagai kembagaan profesional baru yang ikut menyediakan jasa untuk proyek
kepentingan politik seperti biro iklan politik, biro konsultan politik sampai
agen pemenangan kandidat tertentu dalam pemilu.
Dalam perkembangan selanjutnya kita
akan banyak mengenal bagaimana lembaga-lembaga dan agen-agen ini bekerja dan
melibatkan diri dalam kepentingan kontestasi politik. Beberapa contoh bisa
disebutkan seperti berkontribusi pada partai politik dalam cara mengemas pesan
politik yang berbentuk iklan, sosialisasi dan mentransfer pesan politik ke
publik, dan juga keterlibatan dalam kerja-kerja posittioning partai terhadap
partai yang lain, melakukan riset-riset tentang pemilih dan yang lainnnya.
Dengan sistem marketing politik ini pula maka bisa membantu tentang riset
dampak berbagai debat politik, kampanye politik dan penggunaan media-media
tertentu dalam usaha pemenangan suara di pemilu.
Dalam membangun dan menciptakan
strategi ‘marketing politik’, beberapa pemikir dan penulis menjelaskan beberapa
point penting yang menjadi karakteristik dari strategi tersebut.Pemikir seperti
O’Shaughnessy (2001) menekankan bahwa prinsip ‘marketing politik’ berbeda
dengan ‘marketing komersial’. Marketing politik dalam pengertiannya tidak
merupakan cara untuk menjual partai politik atau kandidat presiden tetapi
merupakan cara untuk menawarkan bagaimana sebuah partai politik atau kontestan
bisa membuat program yang berhubungan dengan permasalahan aktual.Lees-Marshmant
(2001) menekankan bahwa ‘marketing politik’ harus dipahami lebih komprehensif.
Ada beberapa prinsip yang ditekankan yakni :
·
Marketing politik lebih dari sekadar
komunikasi politik;
·
Marketing politik diaplikasikan dalam
seluruh proses organisasi partai politik;
·
Marketing politik menggunakan konsep
marketing secara lebih luas, tidak hanya pada teknik marketing tetapi strategi
marketing dari teknik publikasi, menawarkan ide dan program, serta desain
produk sampai ke market intelligent dan pemrosesan informasi;
·
Marketing politik banyak melibatkan
disiplin ilmu dalam pembahasannnya, seperti sosiologi dan psikologi;
·
Konsep marketing politik bisa diterapkan
dalam berbagai situasi politik, mulai dari pemilihan umum sampai ke proses lobi
di parlemen.
Catatan Kritis
atas Bias Negatif Marketing Politik
Tentu saja sebagai sebuah realitas
dan konsep, marketing politik ini banyak juga mengandung bias-bias deviasi atau
kecenderungan negatif.Pertama, hal yang menjadi catatan kritik atas penggunaan
strategi marketing politik adalah terletak pada kecenderungannya yang bisa
mengakibatkan bentuk ‘komersialisasi dunia politik’.Politik tak ubahnya seperti
barang dagangan yang lebih berorientasi pada keuntungan pragmatis laba. Kedua,
apa yang kemudian dibaca dan tersampaikan menjadi terbatas pada kulit luar. Apa
yang diterima masyarakat dan diyakini menjadi kebenaran hanya pada dimensi
kemasan, citra dan bentuk artistiknya dan bukan esensi dari pesan politik itu
sendiri; Ketiga, kecenderungan marketing politik pada nalar transaksi untung
rugi tidak ubahnya akan terjadi pada dunia komoditas. Ia bisa mendorong
terjadinya berbagai politik kotor seperti suap dan politik dagang sapi yang
makin menggejala; Keempat, lebih luasnya yang akan menjadi kekawatiran adalah
kehidupan dunia politik tak ubahnya seperti pasar. Jika kehidupan bersama
dikelola seperti pasar maka yang terjadi adalah bahwa tindakan politik selalu
akan terarahkan dan terorientasikan pada nalar untung rugi; Kelima, kemampuan
dan kekuasaan atas berbagai media dan teknologi informasi sebagai instrumen
politik juga akan mendorong berbagai bentuk manipulasi pada masyarakat. Siapa
yang berkuasa atas akses media, maka di sanalah ia akan mudah untuk membangun
manipulasi massa (rakyat); Keenam, pada titik yang paling mengkhawatirkan
adalah bahwa kehidupan berdemokrasi dan berpolitik lebih berorientasi pada cara
untuk memenangkan kontestasi dari pada membangun aspek kehidupan politik yang
lebih baik. Ketika semua berorientasi pada cara pemenangan, ia kemudian bisa
jadi akan lupa terhadap prinsip hakikat dasar yang harus dibangun dalam dunia
politik yaitu penciptaan dunia kehidupan bersama yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar