Kamis, 03 Januari 2013

( No.18 ) 20 TULISAN BAHASA INDONESIA 1

TATA RUANG MEGAPOLITAN
tata ruang









Penanganan masalah banjir di Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Pemerintah DKI Jakarta.Karena persoalan banjir di Jakartasesungguhnya terkait dengan daerah-daerah lain di sekitarnya,seperti daerah Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang, dan Cianjur. Penanganan banjir tidak akan pernah tuntas kalau tidak melibatkan wilayah-wilayah itu sebagai stakeholder. Jadi perlu ada usaha komprehensif yang melibatkan semua pihak.
Harus diakui sejak dulu hingga saat ini pemerintah DKI telah membangun berbagai sarana dan prasarana banjir, antara lain, Banjir Kanal Timur, Banjir Kanal Barat (BKB), dan usaha pengendalian lainya, namun upaya-upaya itu tidak berhasil membebaskan Jakarta dari banjir. Selama tidak ada kerja keras untuk menghentikan kegiatan pembangunan di ruang terbuka hijau (RTH) untuk permukiman dan pusat-pusat bisnis, baik di Puncak, Bogor maupun Depok, prasarana banjir di DKI Jakarta tidak akan mampu menampung luapan air yang digelontorkan dari wilayah-wilayah itu. Lalu apa yang harus dilakukan dalam menghadapi masalah seperti ini.
Banjir yang terus mengancam Jakarta setiap tahun bukan hanya disebabkan hujan lokal, tetapi bahkan lebih banyak karena banjir kiriman yang berasal dari luar wilayah DKI.Karena itu, strategi pembangunan pengendalian banjir saat ini harus direvisi ulang. Master Plan banjir tidak boleh diletakkan hanya menyangkut wilayah Jakarta saja, tetapi harus dirombak total menjadi master plan tata ruang megapolitan, yang melibatkan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Dengan demikian tanggung jawab mengendalikan banjir tidak sepenuhnya diserahkan kepada pundak Pemerintah Provinsi DKI, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Lantaran Jakarta tidak hanya sebagai ibu kota provinsi tetapi sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan. Itu berarti Jakarta menjadi citra Indonesia secara keseluruhan.
Idealnya dalam konsep membangun kanal dan prasana pengendali lain, harus diletakkan dalam kerangka melibatkan seluruh wilayah Jabodetabek. Ini adalah sebuah konsep komprehensif.Dengan demikian penanganan masalah banjir harus menjadi konsentrasi pemerintah pusat.Pemerintah pusat harus bisa mengatur tata ruang di seluruh Jabodetabek, termasuk peruntukannya. Mengingat setiap kawasan ruang terbuka hijau (RTH) yang diubah peruntukannya, maka akan secara langsung berdampak bagi kawasan lain. Kita bisa mengambil contoh apa yang dilakukan oleh Van Breen saat membangun Banjir Kanal Barat. Saat pemerintah kolonial Belanda mengalihfungsikan kawasan  Puncak dari Perkebunan Karet menjadi Perkebunan Teh, maka Jakarta yang saat itu masih disebut Batavia, mengantisipasinya dengan membangun Banjir Kanal Barat. Itu berarti penanganan banjir menjadi tanggung jawab dan wewenang pemerintah pusat.Gagasan ini sesungguhnya sudah berkali-kali digemakan oleh Dinas Pekerjaan Umum sejak dulu, bahwa pengendalian banjir di DKI harus dilakukan secara komprehensif dan bukan parsial.
Sebelum menuturkan lebih lanjut tentang pentingnya upaya komprehensif dalam menangani banjir di Jakarta, baiklah kita melihat sejumlah persoalan yang terkait dengan pola penanganan banjir selama ini, apa saja strategi-strategi yang dilakukan serta konsep atau gagasan yang melatarbelakangi pengendalian banjir selama ini. Kita akan melihat apakah ada sesuatu yang salah, baik  di tingkat konsep maupun di tataran implementasinya. Selama ini memang sudah dilakukan berbagai upaya, tetapi banyak pihak melihat itu hanya sebagai upaya yang bersifat sporadis.Setiap tahun Jakarta tetap akrab dengan banjir.

MASTER PLAN 1973
 Upaya yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta dalam pola penanganan banjir berdasarkan pedoman Master Plan 1973.Setelah itu dilakukan berbagai studi dan kajian tentang pola penanganan banjir yang tepat sasaran di DKI Jakarta. Dalam master plan itu ditegaskan bahwa setiap bangunan pengendali banjir selalu didesain dengan debit rencana tertentu sehingga masih ada kemungkinan debit rencana tersebut terlampaui.
Teknologi pengendali banjir yang dikembangkan dalam Master Plan 1973 merupakan refleksi dari seluruh penerapan teknologi banjir yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda, terutama gagasan yang dikembangkan oleh Van Breen. Di dalam sejarahnya teknologi pengendalian banjir telah mengalami banyak perkembangan yang makin efektif dan efisien. Jika dahulu pengendalian banjir diartikan hanya sebagai tindakan fisik teknis, yaitu menjauhkan air dari manusia dengan membuat bangunan pengelak (diversion), penahan (levee), memperlancar aliran (river improvement) dan bangunan peredam banjir (dams), maka sekarang pengertian pengendalian banjir lebih berpusat kepada kegiatan mengurangi kerugian (flood mitigation) dengan berbagai macam kegiatan yang bukan hanya lewat penyelesaian teknis semata.
Falsafah pengendalian banjir pun berubah, yang mana sebelumnya adalah menjauhkan air dari manusia, sekarang menjauhkan manusia dari air (not to keep the water away from the people, but to keep people away from the water), yaitu melalui kegiatan-kegiatan yang sifatnya pengaturan dan antisipatif dengan kaidah-kaidah analisis menajemen resiko (risk assessment and management).
Mitigasi banjir harus didukung oleh seluruh komponen di dalam daerah pengaliran sungai tersebut.Pada prinsipnya sungai harus dikembalikan kepada fungsi alaminya sebagai tempat mengalirnya air, sedimen, dan nutrien. Mitigasi banjir sekarang bertumpu pada dua kegiatan utama yaitu pengaturan dataran banjir dan pemberitaan dini akan bahaya banjir.
Falsafah di atas menampilkan konsep dengan kata-kata sederhana adalah “menjauhkan manusia dari segala pengaruh  banjir dan agar sungai dapat menjalankan peran ekologisnya.” Cara penerapanannya tentu dapat bermacam-macam, antara lain  memberi peluang air tidak menimbulkan bahaya dan kerugian pada flood plain, atau suatu sarana mirip retention basin dengan pertimbangan–pertimbangan yang didasarkan pada manajemen resiko.
Falsafah inilah yang melatarbelakang lahirnya master plan 1973.Dengan bantuan Netherlands Engineering Consultants (NEDECO), tersusunlah “Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta” pada Desember 1973. Berdasarkan rencana induk ini, pengendalian banjir di Jakarta akan bertumpu pada dua terusan yang melingkari sebagian besar wilayah kota. Terusan itu akan menampung semua arus air dari selatan dan dibuang ke laut melalui bagian-bagian hilir kota. Kelak, terusan itu akan dikenal dengan nama Banjir Kanal Barat yang mengendalikan daerah seluas 7.500 hektar (ha) dan Banjir Kanal Timur yang mengendalikan daerah seluas 16.500 ha. Ini adalah salah satu upaya pengendalian banjir Jakarta di samping pembuatan waduk dan penempatan pompa pada daerah-daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.
Di dalam rencana induk itu dirancang sistem pengendaliandengan membuat kanal yang memotong aliran sungai atau saluran di wilayah Jakarta Barat.Kanal ini adalah perluasan terusan banjir peninggalan Van Breen, yang kemudian beken disebut sebagai Banjir Kanal Barat (BKB).Tetapi, karena sebagian besar alur kanal ini melintasi daerah permukiman padat, untuk pembebasan tanahnya dibutuhkan persiapan dan pelaksanaan yang panjang.Akibatnya, pembuatan perluasan BKB tersebut pun tertunda.
Setelah terjadi banjir di wilayah Jakarta Barat pada Januari 1979, pemerintah pusat bersama Pemerintah Daerah DKI Jakarta mencari jalan pemecahan untuk mengurangi potensi terjadinya genangan pada masa yang akan datang. Rencana perluasan BKB pun diganti dengan pembuatan jaringan pengendali banjir  lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng. Saluran banjir Cengkareng selesai dibuat pada tahun 1983.
Sebelumnya, tepat tahun 1920 pemerintah kolonialBelanda di bawah komando Prof H van Breen dari Burgelijke Openbare Werken atau disingkat BOW, cikal bakal Departemen PU, meliris gagasan pembangaunan Banjir Kanal Jakarta, dengan membuat aliran sungai Ciliwung melintas di luar Batavia, tidak di tengah kota Batavia. Studi ini dilakukan setelah banjir besar melanda Batavia (Jakarta) tahun 1918. Inti konsep ini adalah pengendalian aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta. Termasuk juga disarankan adalah penimbunan daerah-daerah rendah.
Antara tahun 1919 dan 1920, gagasan pembuatan Banjir Kanal dari Manggarai di kawasan selatan Batavia sampai ke Muara Angke di pantai utara sudah dilaksanakan. Sebagai pengatur aliran air, dibangun pula Pintu Air Manggarai dan Pintu Air Karet.
Dalam periode selanjutnya, seiring dengan perkembangan kota Jakarta yang semakin pesat, terutama setelah tumbuhnya permukiman-permukiman baru dan pusat-pusat bisnis, maka  dicetuslah gagasan bagaimana mengatasi banjir akibat hujan lokal dan aliran dari hulu di Jakarta bagian timur. Dari sinilah cikal bakal pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT). Sama seperti BKB, BKT mengacu pada rencana induk tahun 1973 yang kemudian dilengkapi “The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta” tahun 1991, serta “The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek” pada Maret 1997. Keduanya dibuat oleh Japan International Cooperation Agency.
Dalam Studi Drainase Perkotaan dan Air Limbah di Kota Jakarta (The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta) sistem drainase Jakarta di bagi atas 6 zona.
·        Zona 1 (pertama) meliputi area seluas 10.017 ha dibatasi oleh Sungai Pesanggrahan, Cengkareng Drain dan Laut. Drainase makro yang masuk dalam area ini adalah Kali Kamal, Kali Maja, K. Mookervart, K. Kreo, K. Pesanggrahan, dan Cengkareng Drain.
·        Zona 2 (kedua) meliputi wilayah seluas 11.023 ha yang dibatasi oleh Sungai Pesanggrahan, Cengkareng Drain, K. Krukut dan Banjir Kanal Barat. Drainase makro yang masuk dalam area ini adalah Cengkareng Drain, K. Pesanggrahan, K. Angke, K. Sekrataris, K. Grogol, K. Krukut, dan Banjir Kanal Barat.
·        Zone 3 (ketiga) meliputi area seluas 8.356 ha yang dibatasi oleh K. Krukut, K. Ciliwung dan Banjir Kanal Barat. Drainase makro yang masuk dalam zona ini adalah: Kali Krukut, K. Mampang, K. Cideng, K. Baru Barat, K. Bata, dan Kali Ciliwung.
·        Zone 4 (keempat) meliputi wilayah seluas 5.125 ha yang dibatasi oleh Banjir Kanal Barat, Lower Ciliwung dan Teluk Jakarta. Drainasemakro yang masuk dalam kawasan ini adalah Banjir Kanal Barat, Kali Cideng, Lower Ciliwung, K. Besar, Kali Karang.
·        Zona 5 (kelima) meliputi kawasan seluas 11.119 ha yang dibatasi oleh K. Ciliwung, K. Sunter dan Rencana Banjir Kanal Timur. Drainase makro yang masuk dalam area ini adalah K. Ciliwung, K. Sentiong, K. Baru Timur, K. Cipinang, K. Sunter dll.
·        Zona 6 (keenam) meliputi daerah seluas 19.510 ha yang dibatasi oleh Lower Ciliwung, Rencana Banjir Kanal Timur dan Laut. Drainase makro yang masuk dalam area ini adalah Lower Sentiong, Lower Sunter, Lower Buaran, Cakung Drain, Sal Bekasi Tengah dsb.
Hasil dari Studi Drainase Perkotaan dan Air Limbah di Kota Jakarta ini, menetapkan bahwa Zona I merupakan zone prioritas, yang kemudian dibuat detail desain untuk diimplementasikan dari saluran-saluran sebagai berikut:
·        Saluran drainase Kamal sepanjang 7,20 km.
·        Saluran drainase Tanjungan sepanjang 2,50 km
·        Saluran drainase PIK Juction sepanjang 0,80 km.
·        Saluran drainase Gede sepanjang 1,20 km.
·        Saluran drainase Cengkareng sepanjang 4,20 km.
Konsep ini kemudian direalisasikan dalam bentuk membangun  saluran drainase Kamal sepanjang 7,20 km, saluran drainase Tanjungan sepanjang 2,50 km, pembangunan Pintu Air Tanjungan, pembangunan Stasiun Pompa Tanjungan 3 unit dengan kapasitas 12 m3/detik, dan pembangunan Stasiun Pompa Penjaringan Juction 3 unit dengan kapasitas 6 m3/detik.
Sementara The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek 1997, menetapkan prinsip bahwa satuan wilayah Ciliwung-Cisadane dibagi 8 sub wilayah sungai. Selain itu, juga ditetapkan bahwa drainase Jakarta tetap seperti prinsip Master Plan 1973 dengan dimensi sungai disesuaikan dengan hasil perhitungan Master Plan 1997. Dalam master plan ini pula ditegaskan bahwa sebagian debit sungai Ciliwung dialirkan ke Kali Cisadane melalui terowongan. Tetapi kemudian Master Plan 1997 ini direvisi lagi.Ini terkait dengan penolakan dari masyarakat Tangerang terhadap pembangunan terowongan penghubung Ciliwung-Cisadane, sehingga tidak bisa dilaksanakan.Karena itu, dibuat revisi studi dengan rencana pembangunan Waduk Ciawi yang berlokasi di hulu Bendung Katulumpa.
Studi ini juga menjangkau pada pentingnya membangun Banjir Kanal Timur (BKT). Sasaran yang ingin dituju adalah bahwa pembangunan BKT, selain berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, BKT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta prasarana transportasi air.
BKT direncanakan untuk menampung aliran Kali Ciliwung,  Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare. Rencana pembangunan BKT tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999  tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta. Untuk pembuatan BKT, perlu pembebasan lahan seluas 409 hektar yang terdiri dari 148 hektar di Jakarta Utara dan 261 hektar di Jakarta Timur.

Sumber : Buku : Obsesi Spektakuler Pemprov DKI Tanggul Raksasa Dari Kanal Sampai Bendungan Laut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar