TATA RUANG MEGAPOLITAN
Penanganan masalah banjir di Provinsi Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Pemerintah DKI
Jakarta.Karena persoalan banjir di Jakartasesungguhnya terkait dengan daerah-daerah
lain di sekitarnya,seperti daerah Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang, dan
Cianjur. Penanganan banjir tidak akan pernah tuntas kalau tidak melibatkan
wilayah-wilayah itu sebagai stakeholder. Jadi perlu ada usaha komprehensif yang
melibatkan semua pihak.
Harus diakui sejak dulu hingga saat ini pemerintah DKI
telah membangun berbagai sarana dan prasarana banjir, antara lain, Banjir Kanal
Timur, Banjir Kanal Barat (BKB), dan usaha pengendalian lainya, namun
upaya-upaya itu tidak berhasil membebaskan Jakarta dari banjir. Selama tidak
ada kerja keras untuk menghentikan kegiatan pembangunan di ruang terbuka hijau
(RTH) untuk permukiman dan pusat-pusat bisnis, baik di Puncak, Bogor maupun
Depok, prasarana banjir di DKI Jakarta tidak akan mampu menampung luapan air
yang digelontorkan dari wilayah-wilayah itu. Lalu apa yang harus dilakukan
dalam menghadapi masalah seperti ini.
Banjir yang terus mengancam Jakarta setiap tahun bukan
hanya disebabkan hujan lokal, tetapi bahkan lebih banyak karena banjir kiriman
yang berasal dari luar wilayah DKI.Karena itu, strategi pembangunan
pengendalian banjir saat ini harus direvisi ulang. Master Plan banjir tidak
boleh diletakkan hanya menyangkut wilayah Jakarta saja, tetapi harus dirombak
total menjadi master plan tata ruang megapolitan, yang melibatkan Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Dengan demikian tanggung jawab
mengendalikan banjir tidak sepenuhnya diserahkan kepada pundak Pemerintah
Provinsi DKI, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Lantaran
Jakarta tidak hanya sebagai ibu kota provinsi tetapi sebagai ibu kota negara
dan pusat pemerintahan. Itu berarti Jakarta menjadi citra Indonesia secara
keseluruhan.
Idealnya dalam konsep membangun kanal dan prasana
pengendali lain, harus diletakkan dalam kerangka melibatkan seluruh wilayah
Jabodetabek. Ini adalah sebuah konsep komprehensif.Dengan demikian penanganan
masalah banjir harus menjadi konsentrasi pemerintah pusat.Pemerintah pusat
harus bisa mengatur tata ruang di seluruh Jabodetabek, termasuk peruntukannya.
Mengingat setiap kawasan ruang terbuka hijau (RTH) yang diubah peruntukannya,
maka akan secara langsung berdampak bagi kawasan lain. Kita bisa mengambil
contoh apa yang dilakukan oleh Van Breen saat membangun Banjir Kanal Barat.
Saat pemerintah kolonial Belanda mengalihfungsikan kawasan Puncak dari
Perkebunan Karet menjadi Perkebunan Teh, maka Jakarta yang saat itu masih
disebut Batavia, mengantisipasinya dengan membangun Banjir Kanal Barat. Itu
berarti penanganan banjir menjadi tanggung jawab dan wewenang pemerintah
pusat.Gagasan ini sesungguhnya sudah berkali-kali digemakan oleh Dinas
Pekerjaan Umum sejak dulu, bahwa pengendalian banjir di DKI harus dilakukan
secara komprehensif dan bukan parsial.
Sebelum menuturkan lebih lanjut tentang pentingnya upaya
komprehensif dalam menangani banjir di Jakarta, baiklah kita melihat sejumlah
persoalan yang terkait dengan pola penanganan banjir selama ini, apa saja
strategi-strategi yang dilakukan serta konsep atau gagasan yang melatarbelakangi
pengendalian banjir selama ini. Kita akan melihat apakah ada sesuatu yang
salah, baik di tingkat konsep maupun di tataran implementasinya. Selama
ini memang sudah dilakukan berbagai upaya, tetapi banyak pihak melihat itu
hanya sebagai upaya yang bersifat sporadis.Setiap tahun Jakarta tetap akrab
dengan banjir.
MASTER PLAN 1973
Upaya yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi DKI Jakarta dalam pola penanganan banjir berdasarkan pedoman Master
Plan 1973.Setelah itu dilakukan berbagai studi dan kajian tentang pola
penanganan banjir yang tepat sasaran di DKI Jakarta. Dalam master plan itu
ditegaskan bahwa setiap bangunan pengendali banjir selalu didesain dengan debit
rencana tertentu sehingga masih ada kemungkinan debit rencana tersebut
terlampaui.
Teknologi pengendali banjir yang dikembangkan dalam Master
Plan 1973 merupakan refleksi dari seluruh penerapan teknologi banjir yang
dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda, terutama gagasan yang
dikembangkan oleh Van Breen. Di dalam sejarahnya teknologi pengendalian banjir
telah mengalami banyak perkembangan yang makin efektif dan efisien. Jika dahulu
pengendalian banjir diartikan hanya sebagai tindakan fisik teknis, yaitu
menjauhkan air dari manusia dengan membuat bangunan pengelak (diversion), penahan (levee), memperlancar aliran (river improvement) dan bangunan peredam
banjir (dams), maka sekarang
pengertian pengendalian banjir lebih berpusat kepada kegiatan mengurangi
kerugian (flood mitigation) dengan
berbagai macam kegiatan yang bukan hanya lewat penyelesaian teknis semata.
Falsafah pengendalian banjir pun berubah, yang mana
sebelumnya adalah menjauhkan air dari manusia, sekarang menjauhkan manusia dari
air (not to keep the water away from the
people, but to keep people away from the water), yaitu melalui
kegiatan-kegiatan yang sifatnya pengaturan dan antisipatif dengan kaidah-kaidah
analisis menajemen resiko (risk
assessment and management).
Mitigasi banjir harus didukung oleh seluruh komponen di
dalam daerah pengaliran sungai tersebut.Pada prinsipnya sungai harus
dikembalikan kepada fungsi alaminya sebagai tempat mengalirnya air, sedimen,
dan nutrien. Mitigasi banjir sekarang bertumpu pada dua kegiatan utama yaitu
pengaturan dataran banjir dan pemberitaan dini akan bahaya banjir.
Falsafah di atas menampilkan konsep dengan kata-kata
sederhana adalah “menjauhkan manusia dari segala pengaruh banjir dan agar
sungai dapat menjalankan peran ekologisnya.” Cara penerapanannya tentu dapat
bermacam-macam, antara lain memberi peluang air tidak menimbulkan bahaya
dan kerugian pada flood plain, atau
suatu sarana mirip retention basin dengan pertimbangan–pertimbangan yang
didasarkan pada manajemen resiko.
Falsafah inilah yang melatarbelakang lahirnya master plan
1973.Dengan bantuan Netherlands Engineering Consultants (NEDECO), tersusunlah “Master Plan for Drainage and Flood Control
of Jakarta” pada Desember 1973. Berdasarkan rencana induk ini, pengendalian
banjir di Jakarta akan bertumpu pada dua terusan yang melingkari sebagian besar
wilayah kota. Terusan itu akan menampung semua arus air dari selatan dan
dibuang ke laut melalui bagian-bagian hilir kota. Kelak, terusan itu akan
dikenal dengan nama Banjir Kanal Barat yang mengendalikan daerah seluas 7.500
hektar (ha) dan Banjir Kanal Timur yang mengendalikan daerah seluas 16.500 ha.
Ini adalah salah satu upaya pengendalian banjir Jakarta di samping pembuatan
waduk dan penempatan pompa pada daerah-daerah yang lebih rendah dari permukaan
air laut.
Di dalam rencana induk itu dirancang sistem
pengendaliandengan membuat kanal yang memotong aliran sungai atau saluran di
wilayah Jakarta Barat.Kanal ini adalah perluasan terusan banjir peninggalan Van
Breen, yang kemudian beken disebut sebagai Banjir Kanal Barat (BKB).Tetapi,
karena sebagian besar alur kanal ini melintasi daerah permukiman padat, untuk
pembebasan tanahnya dibutuhkan persiapan dan pelaksanaan yang
panjang.Akibatnya, pembuatan perluasan BKB tersebut pun tertunda.
Setelah terjadi banjir di wilayah Jakarta Barat pada
Januari 1979, pemerintah pusat bersama Pemerintah Daerah DKI Jakarta mencari
jalan pemecahan untuk mengurangi potensi terjadinya genangan pada masa yang
akan datang. Rencana perluasan BKB pun diganti dengan pembuatan jaringan
pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan
Sistem Drainase Cengkareng. Saluran banjir Cengkareng selesai dibuat pada tahun
1983.
Sebelumnya, tepat tahun 1920 pemerintah kolonialBelanda di
bawah komando Prof H van Breen dari Burgelijke Openbare Werken atau disingkat
BOW, cikal bakal Departemen PU, meliris gagasan pembangaunan Banjir Kanal
Jakarta, dengan membuat aliran sungai Ciliwung melintas di luar Batavia, tidak
di tengah kota Batavia. Studi ini dilakukan setelah banjir besar melanda
Batavia (Jakarta) tahun 1918. Inti konsep ini adalah pengendalian aliran air
dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta. Termasuk
juga disarankan adalah penimbunan daerah-daerah rendah.
Antara tahun 1919 dan 1920, gagasan pembuatan Banjir Kanal
dari Manggarai di kawasan selatan Batavia sampai ke Muara Angke di pantai utara
sudah dilaksanakan. Sebagai pengatur aliran air, dibangun pula Pintu Air
Manggarai dan Pintu Air Karet.
Dalam periode selanjutnya, seiring dengan perkembangan
kota Jakarta yang semakin pesat, terutama setelah tumbuhnya
permukiman-permukiman baru dan pusat-pusat bisnis, maka dicetuslah
gagasan bagaimana mengatasi banjir akibat hujan lokal dan aliran dari hulu di
Jakarta bagian timur. Dari sinilah cikal bakal pembangunan Banjir Kanal Timur
(BKT). Sama seperti BKB, BKT mengacu pada rencana induk tahun 1973 yang
kemudian dilengkapi “The Study on Urban
Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta” tahun
1991, serta “The Study on Comprehensive
River Water Management Plan in Jabotabek” pada Maret 1997. Keduanya dibuat
oleh Japan International Cooperation Agency.
Dalam Studi Drainase Perkotaan dan Air Limbah di Kota
Jakarta (The Study on Urban Drainage and
Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta) sistem drainase Jakarta
di bagi atas 6 zona.
·
Zona 1 (pertama) meliputi area seluas 10.017 ha dibatasi oleh
Sungai Pesanggrahan, Cengkareng Drain dan Laut. Drainase makro yang masuk dalam
area ini adalah Kali Kamal, Kali Maja, K. Mookervart, K. Kreo, K. Pesanggrahan,
dan Cengkareng Drain.
·
Zona 2 (kedua) meliputi wilayah seluas 11.023 ha yang dibatasi
oleh Sungai Pesanggrahan, Cengkareng Drain, K. Krukut dan Banjir Kanal Barat.
Drainase makro yang masuk dalam area ini adalah Cengkareng Drain, K.
Pesanggrahan, K. Angke, K. Sekrataris, K. Grogol, K. Krukut, dan Banjir Kanal
Barat.
·
Zone 3 (ketiga) meliputi area seluas 8.356 ha yang dibatasi oleh
K. Krukut, K. Ciliwung dan Banjir Kanal Barat. Drainase makro yang masuk dalam
zona ini adalah: Kali Krukut, K. Mampang, K. Cideng, K. Baru Barat, K. Bata,
dan Kali Ciliwung.
·
Zone 4 (keempat) meliputi wilayah seluas 5.125 ha yang dibatasi
oleh Banjir Kanal Barat, Lower Ciliwung dan Teluk Jakarta. Drainasemakro yang
masuk dalam kawasan ini adalah Banjir Kanal Barat, Kali Cideng, Lower Ciliwung,
K. Besar, Kali Karang.
·
Zona 5 (kelima) meliputi kawasan seluas 11.119 ha yang dibatasi
oleh K. Ciliwung, K. Sunter dan Rencana Banjir Kanal Timur. Drainase makro yang
masuk dalam area ini adalah K. Ciliwung, K. Sentiong, K. Baru Timur, K.
Cipinang, K. Sunter dll.
·
Zona 6 (keenam) meliputi daerah seluas 19.510 ha yang dibatasi
oleh Lower Ciliwung, Rencana Banjir Kanal Timur dan Laut. Drainase makro yang
masuk dalam area ini adalah Lower Sentiong, Lower Sunter, Lower Buaran, Cakung
Drain, Sal Bekasi Tengah dsb.
Hasil dari Studi Drainase Perkotaan dan Air Limbah di Kota
Jakarta ini, menetapkan bahwa Zona I merupakan zone prioritas, yang kemudian
dibuat detail desain untuk diimplementasikan dari saluran-saluran sebagai
berikut:
·
Saluran drainase Kamal sepanjang 7,20 km.
·
Saluran drainase Tanjungan sepanjang 2,50 km
·
Saluran drainase PIK Juction sepanjang 0,80 km.
·
Saluran drainase Gede sepanjang 1,20 km.
·
Saluran drainase Cengkareng sepanjang 4,20 km.
Konsep ini kemudian direalisasikan dalam bentuk
membangun saluran drainase Kamal sepanjang 7,20 km, saluran drainase
Tanjungan sepanjang 2,50 km, pembangunan Pintu Air Tanjungan, pembangunan
Stasiun Pompa Tanjungan 3 unit dengan kapasitas 12 m3/detik, dan pembangunan
Stasiun Pompa Penjaringan Juction 3 unit dengan kapasitas 6 m3/detik.
Sementara The Study
on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek 1997, menetapkan
prinsip bahwa satuan wilayah Ciliwung-Cisadane dibagi 8 sub wilayah sungai.
Selain itu, juga ditetapkan bahwa drainase Jakarta tetap seperti prinsip Master
Plan 1973 dengan dimensi sungai disesuaikan dengan hasil perhitungan Master
Plan 1997. Dalam master plan ini pula ditegaskan bahwa sebagian debit sungai
Ciliwung dialirkan ke Kali Cisadane melalui terowongan. Tetapi kemudian Master
Plan 1997 ini direvisi lagi.Ini terkait dengan penolakan dari masyarakat
Tangerang terhadap pembangunan terowongan penghubung Ciliwung-Cisadane,
sehingga tidak bisa dilaksanakan.Karena itu, dibuat revisi studi dengan rencana
pembangunan Waduk Ciawi yang berlokasi di hulu Bendung Katulumpa.
Studi ini juga menjangkau pada pentingnya membangun Banjir
Kanal Timur (BKT). Sasaran yang ingin dituju adalah bahwa pembangunan BKT,
selain berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi
permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, BKT juga
dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah
dan sumber air baku serta prasarana transportasi air.
BKT direncanakan untuk menampung aliran Kali
Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali
Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup
luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare. Rencana
pembangunan BKT tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6
Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta.
Untuk pembuatan BKT, perlu pembebasan lahan seluas 409 hektar yang terdiri dari
148 hektar di Jakarta Utara dan 261 hektar di Jakarta Timur.
Sumber : Buku : Obsesi Spektakuler Pemprov DKI
Tanggul Raksasa Dari Kanal Sampai Bendungan Laut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar